"PENTINGKAH MEMPELAJARI MATEMATIKA?"
Menyimak pendidikan di Indonesia khususnya matematika di sekolah, baik di tingkat dasar sampai dengan tingkat lanjutan, belum pernah memberikan hal yang menggembirakan, baik untuk skala nasional maupun internasional. Indonesia masih jauh tertinggal oleh negara-negara lain meski di kancah Internasional secara individu siswa Indonesia ada yang berprestasi namun hal itu bukan merupakan potret dari pendidikan di Indonesia.
Bukan tidak disadari adanya hal tersebut oleh kalangan praktisi pendidikan, tapi justru kini tengah menjadi bahan pengembangan oleh pemerintah (Depdiknas) yang terus berupaya mengganti (memperbaiki) kurikulum berkali-kali meski kajian belum juga dilakukan. Namun apakah usaha tersebut memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia? jawabnya jelas itu bukan solusi.
Beberapa hal yang menjadi kendala bagi pendidikan di Indonesia terutama pendidikan matematika, diantaranya adalah adanya kurikulum yang dikembangkan dengan hanya berdasar teori atau mencontoh atau mengadop dari kurikulum negara lain tanpa dikembangkan dari kasanah negeri sendiri, terlalu ingin cepat melihat hasil sehingga proses dinomorduakan, melupakan bahwa pendidikan adalah investasi masa depan yang hasilnya tidak dapat langsung dirasakan. Berikutnya adalah paradigma pembelajaran masih mengutamakan pandangan behaviorisitik, sehingga pemahaman dari pengetahuan yang diperoleh siswa jadi berkurang. Dari factor human, loyalitas guru terhadap tujuan pendidikan sangat berkurang (tidak tahu? atau tidak mau tahu?), yang ada hanya yang penting mengajar, target kurikulum seringkali menjadi tujuan utama, yaitu materi sudah disampaikan kepada siswa, hal ini karena Diknas membuat kurikulum masih merupakan “dewa” yang harus diikuti sihingga pendidikan jadi berbelok arah, yaitu agar “dewa” senang.
Pentingnya Pembelajaran Matematika
Sepercik harapan akan pembelajaran matematika di sekolah yang lebih baik dan bermutu terbesit disetiap guru khususnya para guru matematika. Sudah bukan zamannya lagi matematika menjadi momok yang menakutkan bagi siswa di sekolah. Jika selama ini matematika dianggap sebagai ilmu yang abstrak dan kering, teoretis dan hanya berisi rumus-rumus, seolah berada "di luar"mengawang jauh dan tidak bersinggungan dengan realitas kehidupan siswa-kini saatnya bagi siswa untuk akrab dan familier dengan matematika.
Tony Buzan, penemu dan pengembang metode mind map, menganalogikan bahwa belajar matematika ibaratnya membangun rumah-rumahan dari kartu. Setiap kartu harus berada di tempatnya sebelum kartu berikutnya ditambahkan. Kalau ada kartu yang keliru letaknya atau salah satu saja kartu yang goyah maka seluruh bangunan rumah-rumahan tersebut akan roboh.
Kalau analogi Buzan tersebut akan dikembangkan dalam wacana pembelajaran di ruang kelas maka dengan terpaksa kita harus menyoroti pembelajaran yang diaksanakan oleh guru karena memang gurulah secara formal yang pertama kali mengenalkan matematika kepada anak-anak. Cukup banyak anak-anak yang tidak pernah berhasil membangun rumah-rumahan kartu tersebut bahkan kewalahan di saat-saat awal mereka mengenal matematika karena guru tidak mampu menguatkan sekaligus mengutuhkan bagian-bagian dari rumah-rumahan kartu tersebut.
Satu hal lagi yang sangat menarik bahwa matematika dalam kurun ”zaman keemasan” para kaum Muslimin sekitar abad ke-delapan, adalah salah satu bidang ilmu yang paling digemari karena ada kaitannya dengan kebutuhan religi, misalnya untuk menghitung warisan dan kalender Islam, penentuan waktu shalat, menentukan waktu yang akurat dari gerakan bulan dan bintang, dan sebagainya. Sebagaimana diungkap oleh Mohaini Mohamed (2001) bahwa matematika menjadi kegemaran utama bagi kaum muslimin ketika itu karena bidang itu menggabungkan kesatuan dan karakter abstrak dari pemikiran Islam. Matematika tidak dianggap sebagai ajaran sekuler, tetapi lebih sebagai sarana untuk menyalurkan pemahaman pada bidang yang dapat dimengerti. Matematika, menurut kaum muslimin merupakan kunci menguak misteri tentang Tuhan.
Antusiasme relegius yang digambarkan diatas sekaligus menorehkan prinsip matematika dari sudut transendental bahwa Tuhan ada di segala tempat di alam semesta yang di dasarkan pada prinsip kepastian. Maka seperti yang dibukukan dalam sejarah, perkembangan dan produktivitas matematika terutama pada abad sembilan dan sepuluh seolah mengalami keajaiban yang luar biasa dikalangan matematikawan Islam.
Belajar matematika adalah sesuatu yang cukup. Ini merupakan suatu syarat kecukupan. Mengapa? Karena dengan belajar matematika, kita akan belajar bernalar secara kritis, kreatif dan aktif. Sekaligus pada saat yang sama, kita akan mengamati keberdayaan matematika (power of mathematics) dan tentunya menumbuh kembangkan kemampuan learning to learn. Jadi, kecuali untuk mendapatkan daya matematika itu sendiri sebagai alat penyelesai permasalahan dalam kehidupan nyata, kita belajar matematika sebagai suatu wahana yang memfasilitasi kemampuan bernalar, berkomunikasi, dan peningkatan kepercayaan diri dalam bermatematika. Tentunya kemampuan bernalar yang dipunyai anak didik melalui proses belajar matematika itu akan meningkatkan pula kesiapannya untuk menjadi lifetime learner atau pemelajar sepanjang hayat.
Komentar
Posting Komentar